-->

ANALISIS CERPEN BIBIR-BIBIR YANG TERCECER DI JALANAN

KRITIK MORALITAS DAN CERITA YANG TERSELUBUNG;
Karya: Imamuddin SA


Menulis  sastra  (cerpen) merupakan hal  yang sangat  melelahkan, menguras  pikiran, sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak, sejak awal kita sudah dituntut untuk memungut ide yang belum tersentuh rimbanya. Kalaupun sudah berhasil memungutnya, kita masih diminta untuk mengasuhnya dalam bentuk narasi sebagaimana kaidah yang semestinya ada;   membikin tokoh dan penokohan, menyusun plot dan setting, menggarap point of view dan stilistika, lebih-lebih amanat yang konon harus menggugah. Yups, ini memang benar-benar merepotkan, belum lagi kita juga dituntut untuk mengantarnya sampai pada ranah menyunting sebagai fase finishing. Ini yang kerap membikin kita semakin bingung.
Satu hal lagi, kita sudah susah-susah menggurat karya, karya kita masih saja dipaido oleh pembaca yang budiman. Terlepas pembaca itu adalah seorang apresiator atau kritikus, yang jelas mereka semakin membikin kita pusing tujuh keliling. Yang perlu kita sadari dari semua ini yaitu usaha dan niat baik pebaca yang berada pada taraf maidotul hasanah; mengapresiasi dan mengkritik demi kebaikan
kita.
Di tangan tukang paido (sebut saja pembaca), karya kita selalu memiliki celah. Mereka selalu saja dapat  menemukan  kekurangan-kekurangan  karya  yang  telah  dibacanya.  Mengapa  hal  itu  dapat terjadi? Karena sesungguhnya tiada suatu perbuatan yang paling sepurna keitimbang menemukan kekurangan orang lain. Mungkin ini sebuah keyakinan bagi saya, namun tidak bagi anda. Gajah di pelupuk mata tidak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak.
Pertanyaannya, sebagai penulis yang budiman, apa yang semestinya kita lakukan ketika karya kita
mendapat paidotul hasanah? Diamkah kita? Marahkah kita? Yang jelas, adakalanya diam adalah emas dan  berbicara  juga  adalah  emas.  Diam  itu  sah  dan  marah  juga  tidak  dilarang,  namun  bersikap hiperbolis memang tidak disarankan. Lebih-lebih kita psimis dan berhenti berkarya, itu tidak dibenarkan.
Saya teringat dengan tulisan almarhum KH. Zainal Arifin Thoha dalam bukunya yang berjudul
“Aku Menulis maka Aku Ada”. Dalam buku tersebut dinukilkan bahwa kalau kita berkarya, janganlah kita terpaku  memikirkan kesempurnaan. Ketika kita terlalu dibebani kesempurnaan, kita akan takut melangkah. Akhirnya kita tidak mengerjakan apa-apa dan tidak menghasilkan apa-apa. Capailah hasil jangan kesempurnaan. Maka dari itulah, sesuatu yang positif kita pungut dengan tanpa mengabaikan kutub negatifnya.
Membaca cerpen Fatah Anshori yang berjudul “Bibir yang Tercecer di Jalan” membikin hati saya tertarik untuk membuat catata sederhana. Membaca judulnya saja, hati saya telah terhipnotis untuk segera menyelami kedalamannya. Cerpen ini menyajikan sebuah cerita yang terselubung. Istilahnya ada cerita di dalam cerita.
Singkat cerita, cerpen ini mengisahkan kehidupan tokoh “aku” saat berada di sebuah kota yang
sepi. Penghuni kota itu semuanya bermasker dan bercadar. Meeka bersikap acuh kepada tokoh “aku”. Mereka seolah-olah menyembunyikan sesuatu yang besar kepada orang lain. Kota itu memiliki bangunan dan gedung-gedung tua yang tinggi  namun kondisinya kusam. Selain itu, toko-toko banyak yang tutup. Kondisi yang demikian itulah membuat tokoh “aku” mengingat dan menceritakan kembali peristiwa  pertemuannya  dengan  Gin,  sahabatnya.  Pertemuan  itu  terjadi  sebelum  tokoh  “aku” berangkat ke kota itu. Dalam pertemuan itu, Gin menceritakan kembali masa lalunya dengan kekasihnya yang begitu pahit. Masa lalu itulah yang kemudian mengubah  karakter Gin yang baik menjadi buruk. Kebaikan Gin banyak dimanfaatkan oleh orang lain, termasuk kekasihnya sendiri.
Setelah mereka selesai bercerita satu sama lain, Gin kemudian mengantarkan tokoh “aku” ke
pelabuhan. Sejak saat itulah mereka berdua bepisah. Dalam perjalanannya menaiki kapal, tokoh “aku”
dirampok dan dibuang ke laut. Ia tidak sadarkan diri. Saat terbangun, tokoh “aku” mendadak telah 
berada di sebuah pulau. Ketika ia menyusuri pulau, tokoh “aku” menemukan kota sepi itu. Itulah awal mula cerita tokoh “aku” sebelum tiba di kota tersebut. Dalam perjalanannya, tokoh “aku” kemudian bertemu seorang lelaki. Ia adalah warga kota tersebut. Lelaki itu kemudian membuka masker yang sejak tadi telah membekap wajahnya. Tokoh “aku” mendapati lelaki itu tidak memiliki bibir. Tokoh “aku” lantas mengikuti lelaki itu ke seberang jalan dan menemukan sebuah toko yang buka di situ. Tokoh  “aku”  kemudian  mendapati  seorang  perempuan  penjaga  toko  yang  begitu  sempurna  di matanya. Perempuan itulah yang pada akhirya menceritakan sebuah kebenaran terkait dengan kota yang sepi dan berceceran bibir di sepanjang kota. Perempuan itu menjelaskan bahwa untuk dapat hidup di kota itu, para warganya harus berdusta kepada siapaun, jika tidak bibir mereka akan mengelupas. Orang yang telah kehilangan bibirnya akan mati membusuk. Itu adalah sebuah kutukan dari raja kota tersebut. Akan tetapi kutukan itu tidak berlaku untuk orang luar yang bukan warga kota. Perempuan itu berkata demikan dengan maksud agar tokoh “aku” akan menjadi juru selamat bagi warga dan kota itu dengan berkata jujur, meskipun perempuan itu sadar bahwa dengan mengatakan sebuah kejujuran kepada tokoh “aku”, nyawanya akan melayang. Setelah menyelesaikan ceritanya, tidak lama kemudian raja beserta pengawalnya tiba di toko perempuan tersebut. Mereka memaksa masuk ke dalam toko dengan merusak pintunya. Seketika itu, pengawal raja membunuh perempuan itu dengan sebuah senapan, namun tidak dengan tokoh “aku”.
Cerpen  “Bibir  yang  Tercecer  di  Jalan”  memiliki  pola  alur  yang  cukup  unik,  meskipun  pada
hakikatnya tetap bertumpu pada skema alur progresif. Keunikannya terletak pada bagunan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Fatah tampak secara sadar menghadirkan lompatan-lompatan peristiwa dari masa ke masa di dalam cerpen ini. Tujuannya tidak lain adalah ia ingin membangkitkan gairah baca dan keingintahuan pembaca dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi berikutnya.
Sebagai sebuah teknik, Fatah telah berhasil dengan piawai menghadirkan backtracking di dalam
ceritanya. Terhitung sebanyak tiga kali, Fatah menggunakan backtracking dalam cerita ini. Pertama; hadirnya cerita pertemuan tokoh “aku” dangan Gin sebelum tokoh “aku” berada di kota sepi. Kedua; hadirnya cerita masa lau Gin dengan kekasihnya, Ai. Ketiga; adanya cerita dari tokoh “aku” kepada Gin tentang sebuah negeri yang telah dihancurkan oleh Tuhan.


Sambil berjalan dan berharap ada orang yang dapat menjawab pertanyaan- pertanyaanku, aku mengingat-ingat kejadian sebelum aku memutuskan pergi.
“Kau tak akan menemukan orang yang benar-benar jujur di dunia ini.”
Aku membiarkan Gin berbicara sesukanya di depanku. Sementara sembil menghisap sebatang  Marlboro  yang  kuambil  dari  kotak  rokok  milik  Gin  aku  mencoba  melupakan
kejadian itu. (hal: 1).

Lalu Gin menceritakan ulang kejadian itu, ketika aku seakan-akan menjadi lelaki paling bodoh yang pernah hidup di bumi. Pada suatu sore di hari Sabtu aku dan Gin memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus untuk mengurangi penat dan mencari angin segar, barangkali seperti itu basa-basinya. Ketika berjalan di lobi Fakultas Kesehatan, aku dan Gin melihat mereka berciuman. Ai melakukannya dengan seorang lelaki yang tak kukenal, tapi kuakui  lelaki  itu  memiliki  dandanan  yang  lebih  rapi  dariku.  Ia  mungkin  memotong rambutnya dua minggu sekali dan merawat kulitnya dengan body lotion setiap hari. Aku dan Gin melihat kejadian itu dengan jelas dan seolah adegan itu di-zoom pada sudut di mana bibir mereka saling bersentuhan satu sama lain. (hal: 1).

Lalu pada Gin, aku menceritakan suatu kisah tentang suatu negeri yang entah pernah kudengar  dari  mana,  aku  agak  lupa.  Mulanya  itu  adalah  suatu  negeri  yang  subur  dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang di negeri itu, karena mereka kerap berdusta tidak 
pernah bersyukur, dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan negeri itu semudah membolak-balikkan telapak tangan, lalu negeri itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang  tumbuh  di  negeri  itu  tidak lagi  bisa  dimakan. Seluruh  buah  yang  tumbuh  di  sana menjadi pahit. (hal: 2).

Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” karya Fatah ini memperhatikan aspek stilistika. Bahasa figuratif tampak berhamburan di dalamnya. Hal itu sudah mulai terlihat sedari awal cerita ini dibuat, termasuk pengambilan judul karya. Judul “Bibir yang Tercecer di Jalan” merupakan suatu metafora yang secara implisit merepresentasikan sebuah kejujuran yang telah ditinggalkan dan tercampakkan. Orang yang berkata jujur dalam cerpen ini akan mengalami ketersiksaan yang begitu pedih. Bibirnya akan mengelupas dan perlahan akan mati membusuk. Penegasan judul “Bibir yang Tercecer di Jalan” sebagai metafora terlihat jelas dari pernyataan tokoh perempuan saat memberikan penjelasan kepada tokoh “aku”.

Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya, (hal: 5).

Selain metafora, dalam cerpen ini Fatah juga menghadirkan asosisi, metonimia, pesonifikasi, hiperbola, dan sarkasme. Gaya asosiasi tampak pada pernyataan “bibir yang tercecer di jalan” yang disamakan  dengan  “tai  ayam”.  Selain itu, “bibir-bibir”  juga  disamakan  dengan  “daun  yang  tertiup angin”. Ada juga “para pengawal raja” diibaratkan sebagai “sekawanan banteng”.


... aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, .... Bibir- bibir itu terbang sebagaimana daun yang tertiup angin. (Hal: 1).
.... Seolah di luar ada sekawanan banteng yang bergantian menyeruduk pintu. (hal: 5).

Gaya metonimia tampak dengan hadirnya pernyataan yang menyebutkan nama/merk suatu barang/benda, yaitu “menghisap sebatang Marlboro”. Gaya personifikasi terdeskripsikan melalui pernyataan   “toko-toko   menggantungkan   tulisan   tutup”.   Toko   yang   notabenenya   benda   mati disematkan karakter manusia yaitu dapat menggantungkan sebuah tulisan.

.... Sementara sembil menghisap sebatang Marlboro yang kuambil dari kotak rokok milik
Gin aku mencoba melupakan kejadian itu. (hal: 1).
Toko-toko  yang  berada  di  pinggir  jalan  raya  kebanyakan  menggantungkan  tulisan tutup di balik pintunya. Satupun toko tidak ada yang buka. (hal: 1).

Gaya hiperbola tecermin melalui pernyataan yang melebih-lebihkan yang dilakukan oleh Fatah dalam cerpen ini. Beberapa pernyataan tersebut di antaranya yaitu tuturan tokoh “aku” terkait perempuan yang telah melelehkan air matanya sebagai bentuk ungkapan kesedihan yang amat pekat. Selain itu,  tuturan tokoh “aku” tentang perempuan yang ingin membenamkan kesedihannya pada tokoh “aku”. Gaya sarkasme muncul dalam ungkapan pengawal raja yang menyebut perempuan yang bersama tokoh “aku” itu dengan kata-kata “perempuan hina”.

Di pertengahan cerita ia tiba-tiba melelehkan air mata, dan sepertinya hanya kesedihan yang amat pekat yang dapat membuat perempuan secantik ia, bisa terisak begitu lama.... Ia seolah ingin membenamkan segala kesedihannya di tubuhku. (hal: 5). 
“Mati kau perempuan hina!” seseorang di belakang itu berteriak.” (hal: 5).

Secara umum, cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” karya Fatah menitikberatkan pada aspek moralitas sehingga nilai yang muncul berseliweran adalah nilai moral. Fatah bermaksud mengkritisi adanya degradasi moral, terutama praktik pengebirian kebenaran dan kejujuran yang dilakukan oleh suatu pemerintahan tertentu. Ia secara implisit seolah mengatakan bahwa suatu kebohongan dan kezaliman yang disembunyikan suatu saat akan terbongkar dan berakhir. Bagi Fatah, semua itu akan berakhir jika dalam pribadi seseorang muncul suatu keberanian untuk mengungkapkan kebenaran dan kejujuran, meskipun taruhannya adalah nyawa. Lebih-lebih, orang yang menyatakan kebenaran dan kejujuran itu haruslah orang yang benar-benar tidak terbelit dalam sistem pemerintahan tersebut.

“Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya,” setelah mengunci pintu kamar perempuan itu lantas duduk di sebelah kananku. “Seperti yang tertulis di buku-buku itu, bahwa setiap orang yang telah kehilangan bibirnya akan segera membusuk begitu saja. Orang-orang yang menulis buku itu percaya bahwa Raja telah membuat perjanjian dengan roh jahat dan membuat kutukan untuk orang- orang yang berbicara benar. Dan konon hanya orang asing yang datang dari luar pulau ini yang tidak terikat darah dan perjanjianlah yang akan mencabut kutukan itu.” (hal: 4-5).

Menyoal moralitas, suatu kebohongan yang dipelihara akan melahirkan kebohongan-kebohongan lain yang semakin hari semakin menjamur. Menjamurnya kebohongan itu dikarenakan adanya suatu usaha menutupi satu kebohongan dengan kebohongan pula. Hal ini jika dibiarkan akan beranak-pinak.
Satu hal yang patut sedikit disayangkan dari Fatah terkait cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan”. Ia
kurang   berani   mendeskripsikan   seting   ceritanya   secara   gamblang.   Ia   terbelit   dalam   dunia imajinasinya sendiri. Padahal apabila setting ini dipertegas akan menjadi satu sajian karya dengan gaya yang menarik; realis imajinatif. “Bibir yang Tercecer di Jalan” akan menjadi representasi dari realitas yang ada. Kota kita sedang dilanda krisis kejujuran.

Ketika pertama kali memasuki gerbang masuk kota, gedung-gedung tinggi tua dan tampak kusam menyambutku.... Aku berjalan berpapasan dengan mereka dan ketika aku menyapa untuk bertanya tempat atau nama kota ini, mereka tidak menjawab, hanya menatapku dengan pandangan yang seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa.... (hal: 1).
.... Mulanya aku mengira pulau ini hanya diisi oleh populasi pohon-pohon besar yang tidak  kukenal  jenisnya, namun ketika masuk ke dalamnya aku menemukan sebuah kota
dengan gedung-gedung tinggi, hampir mirip dengan Jakarta atau Surabaya. Namun dari
luar gedung-gedung itu tak nampak sama sekali, seolah-olah pohon yang tumbuh melingkari kota itu seperti koloseum utuh yang menutupi lapangan dari luar.... (hal: 3).

Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” dapat dikatakan sebagai karya yang kuat secara umum. Akan tetapi ada sebagian kisah yang dihadirkan malah justru mengurangi kekuatan karya ini. Fatah dapat dikatakan kurang selektif dalam mengambil kilatan kisah tentang sebuah negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati, cerdas, serta dapat berkomunikasi dengan hewan dan jin. Kilatan cerita ini   terlalu klise kisahnya. Pembaca akan menangkap kisah ini sebagai citraan dari cerita Raja Sulaiman. Meskipun efek moralitas yang dihadirkan telah tercapai, alur yang disajikan terlalu monoton. Akan tetapi kilatan cerita ini akan menjadi dahsyat apabila disajkan dengan daya ungkap yang berbeda. 
Lalu pada Gin, aku menceritakan suatu kisah tentang suatu negeri yang entah pernah kudengar  dari  mana,  aku  agak  lupa.  Mulanya  itu  adalah  suatu  negeri  yang  subur  dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang di negeri itu, karena mereka kerap berdusta tidak pernah bersyukur, dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan negeri itu semudah membolak-balikkan telapak tangan, lalu negeri itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang  tumbuh  di  negeri  itu  tidak lagi  bisa  dimakan. Seluruh  buah  yang  tumbuh  di  sana menjadi pahit. (hal: 2).

Dalam penceritaan, di awal cerita, Fatah juga menyematkan suatu pernyatan yang kurang berimbang. Fatah terkesan terburu-buru dalam mengambil diksi. “Saat pertama kali tiba di kota ini, aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, ada yang masih segar dan ada yang sudah membusuk atau bahkan mengering. Namun bibir-bibir yang tercecer di jalan raya, trotoar, selokan, atau di teras toko-toko itu memiliki aroma wangi yang belum pernah kuhirup sebelumnya”, ketidakberimbangan cerita ini terletak pada pengunaan kata “aroma wangi” yang bertolak belakang dengan kata “sudah membusuk” yang telah tersemat terlebih dahulu. Sesuatu yang “membusuk” jelas- jelas tidak dapat dikatakan “wangi” karena keduanya sama-sama berhubungan bengan bebauan.
Lain halnya dengan ending cerita ini. Penutupan ceritanya terkesan dipaksakan. Bagian ini agak
sedikit  kurang  harmonis  dengan  cerita  yang sebelumnya,  meskipun  sosok  Gin  disinggung  di  sini. Mengapa  demikian?  Hal  itu  dikarenakan  tokoh  “aku”  di  pulau  (kota)  itu  tidaklah  mencari  Gin melainkan ia terdampar dan tersesat setelah dibuang perampok saat naik kapal. Lagi pula Gin lah yang mengantarkannya ke pelabuhan saat tokoh “aku” hendak melakukan perjalanan mencari kota yang entah. Yang jelas, kota itu bukanlah kota yang mempertemukan tokoh “aku” dengan Gin pertama kali.

Besoknya aku meminta Gin mengantarku ke pelabuhan di sebelah timur kota, aku membeli sebuah tiket perjalan paling murah, aku tidak peduli ke tempat mana kapal itu akan berhenti dan aku tidak terlalu mengingat tempat tujuan perjalanan itu.... (hal: 3).
“Apa  sekarang  kau  sudah  mengerti?”  bagaiamana  mungkin  Gin  berada  disini  dan
menjadi raja. (hal: 5).

Terlepas   dari   muatannya   yang   sarat   dengan   nilai   moral,   entah   ini   merupakan   suatu ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan saat menulis adalah penggunaan kalimat efektif yang sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. Dalam cerpen  “Bibir yang Tercecer di Jalan”, Fatah masih terbelenggu dengan kesalahan penggunaan ejaan. Jika demikian, ketelitian dan kecermatan menjadi jalan pintas untuk menebus kekurangan.
Sekali lagi saya tegaskan, ini hanyalah sebatas catatan sederhana bagi saya. Anda menganggap
catatan ini sebagai apresiasi, kritik, atau maidotul hasanah, itu hak anda. Saya tidak dapat membatasi pola pikir anda karena saya dengan anda merupakan pribadi yang berbeda. Saya dengan anda jelas memiliki sudut pandang yang tidak sama, termasuk dalam menafsirkan cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” ini.

0 Response to "ANALISIS CERPEN BIBIR-BIBIR YANG TERCECER DI JALANAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel