CERPEN "TIGA PEREMPUAN"
TIGA PEREMPUAN
Luqman Almishr
Pagi yang cerah mengiringi langkah kakinya. Sinar mentari yang hangat dan penuh kelembutan meresap dalam tubuh kurusnya berbalut baju batik kotak-kotak kumal. Ia terus berjalan melewati batu-batu yang bernama itu. Seakan ia tak mengindahkan larangan Kiai Slamet untuk tidak berkunjung ke kuburan setelah terjadi gerhana bulan tadi malam. Tapi ia cukup punya alasan mengapa ia melanggar larangan tersebut. Hari ini adalah hari spesial, ya spesial karena hari ini adalah hari ulang tahun kematian salah satu diantara dua perempuan yang telah mengisi perjalanan hidupnya yang sekarang telah terbujur di tanah pemakaman ini.
Parmin menghentikan langkah kakinya pertanda telah sampai pada tempat yang dituju. Bergegas ia menggelar tikar pandan disamping pusara emak sekaligus pusara istrinya. Ya kedua perempuan itu dikubur di lubang yang sama, hanya saja emak parmin dikubur sedalam dua meter sedangkan istrinya dua meter dibawah jasad emak, maklum Parmin tak punya cukup uang untuk mengontrak dua pusara. Tanah disini tidak cocok untuk orang ekonomi menengah ke bawah. Ah.. Sudahlah! daripada aku bercerita tentang bisnis tanah kuburan lebih baik aku bercerita tentang Parmin yang baru saja selesai memanjatkan doa kepada sang pemilik keabadian. Tak lupa Parmin menaburi pusara dua perempuan hebatnya itu dengan bunga sepasar. Namun tiba-tiba air mata parmin tak sengaja menetes, ia coba tahan tapi tetap saja tak terbendung. Airmata memang tak bisa menyalahkan takdir tapi airmata tak bisa diam melihat seseorang kehilangan dua perempuan yang sangat ia cintai.
Langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Sepertinya matahari enggan menemani parmin hingga selesai ziarah, ia memilih bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam padahal belum waktunya ia purna tugas menyinari bumi. Parmin pun segera meninggalkan pemakaman.
Dikejauhan terdengar suara lagu anak-anak, suara yang tidak akan pernah lagi terdengar di radio maupun televisi manapun, sebab radio dan televisi bukanlah teman yang baik bagi anak-anak, Parmin sangat membenci suara itu, suara yang berasal dari odong-odong. Nanti aku ceritakan kenapa Parmin begitu membenci odong-odong.
Sesampainya di pertigaan telaga bandung, mata Parmin tertuju pada sebuah banner bergambar Presiden yang belum lama dilantik, tanpa komando Parmin mengangkat tangannya sejajar dengan alis matanya pada potret di banner itu. Tiiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Cak Parmin, ayo sini!” terdengar suara dari dalam pos kamling. Segera Parmin menghampiri seseorang didalamnya.
“Mau kemana Cak, kelihatannya kok terburu-buru?” timpal kang bakar.
“Mau pulang kang, lha wong sudah ditunggu Ika di rumah” kata Parmin.
Oh iya, aku lupa kalau Parmin masih punya satu perempuan lagi namanya Ika anak semata wayangnya. Kasihan Ika, sejak berumur tujuh bulan didalam kandungan, ia sudah ditinggal mati ibunya, setelah lahir, ia dirawat neneknya yang telah mati dua tahun yang lalu.
“Memangnya sampean tadi darimana?”
Sejenek Parmin terdiam, ia mencoba memberanikan diri untuk berkata sebenarnya, kang bakar menatap mata Parmin penuh tanda tanya.
“Nganu kang, dari pemakaman” jawab parmin dengan terbata-taba.
“Pemakaman!
Ciloko benar-benar ciloko, sampean telah berani melanggar larangan kiai slamet, pasti akan terjadi musibah besar”.
“Saya tidak percaya dengan larangan kiai slamet itu kang” jawab parmin.
“Tidak percaya, sampean lihat itu, langit makin hitam dan sebentar lagi hujan akan turun deras, padahal sekarang masih musim kemarau”. Bentak kang bakar.
“Walaupun mendung, kan belum tentu hujan kang, maafkan saya, hari ini seribu hari istri saya meninggal, tidak mungkin saya tidak nyekar” tegas parmin.
“Wes emboh, terserah sampean. Saya cuma bisa berharap semoga saja tidak terjadi apa-
apa” desis kang bakar sambil menggerutu.
Beberapa saat keduanya duduk terdiam , tak lama kemudian hujan mulai rintik, kilat menyambar kemana-mana, suara petir semakin menggelegar, air turun menghujam seperti serpihan-serpihan gelas kaca, kedua orang setengah baya itu saling berpandangan.
“Ketiwasan-ketiwasan Cak Parmin” tiba-tiba suara Darsono memecah siang itu.
“Ada apa Dar?” jawab Parmin.
“Ika dibawa ke rumah sakit Cak, dia tertabrak odong-odong rombongan Presiden yang sedang pawai” terang Darsono sambil terengah-engah.
“Dibawa ke rumah sakitr mana dar? Timpal parmin.
“Rumah Sakit Umum Cak” jawab Darsono.
Tanpa berpikir panjang, Parmin berlari menerobos hujan badai siang itu, walau ia tahu itu sama halnya dengan bunuh diri. Sekujur badannya kini basah kuyup tapi Parmin tak perduli, rasa trauma kehilangan dua perempuan kini membayangi benaknya. Ia masih ingat betul peristiwa bagaimana istrinya meninggal. Saat itu istri Parmin tengah hamil tua, ia sedang tidur di rumah dan tiba-tiba tanpa permisi ada sebuah odong-odong masuk ke rumahnya, bruuukk… tabrakan tak bisa terhindarkan, istri Parmin meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, beruntung janinnya masih bisa diselamatkan melalui operasi cesar satu jam setelah ibunya meninggal.
***
Hujan mulai mereda, di sudut-sudut rumah sakit telah disesaki para pengunjung dari berbagai profesi, sesuai dengan laporan kepala rumah sakit ada dua korban dalam insiden rem blong odong-odong Presiden, salah satu korban itu adalah Ika satu-satunya perempuan yang masih dimiliki Parmin, dengan perasaan tak karuan Parmin memilih duduk di lantai dekat UGD agar lebih cepat mendapatkan informasi perkembangan perempuan kecilnya itu.
Kepala rumah sakit dan beberapa dokter memberikan informasi bahwa satu korban
diizinkan pulang karena hanya menderita luka ringan,. Sedangkan satu korban lagi nyawanya tak tertolong.
“Innalillahi wainna ilaihi rojiuun”
Mendengar berita itu Parmin seakan tak percaya, emosinya tak terkontrol lagi, hatinya terasa remuk, hingga membuat airmatanya deras bercucuran. Beberapa pemburu berita menyorotkan lensanya kearahnya kemudian melemparkan beberapa pertanyaan, tapi Parmin tak menghiraukan, ia memilih untuk berjalan menuju gerbang rumah sakit. Walau banyak sorot mata memandang, Pamin tetap tak perduli, ia terus berjalan menjauh dari keramaian itu dan tiba-tiba terdengar suara anak kecil menangis keras, suara tangisan yang berasal dari gendongan Parmin. Ah… rupanya Ika tengah terbangun dari tidurnya. Parmin mencoba menenangkan Perempuan kecilnya itu.
“Cup-cup sayang, nanti ayah belikan arbanat” Ika menggelengkan kepalanya,
“Minta apa sayang?” rayu Parmin.
“Permen sugus” kata Ika.
“Iya, sekarang kita beli permen Sugus, tapi Ika jangan menangis ya?” Ika menganguk dan berhenti menangis.
Parmin terus berjalan meninggalkan rumah sakit milik pemerintah itu,. Semakin lama
semakin ramai saja orang berdatangan, penuh sesak para wartawan, politisi, tokoh agama, pejabat, duta besar negara sahabat, kepala negara negara sahabat, dan rakyat negeri ini.
- 2015
0 Response to "CERPEN "TIGA PEREMPUAN""
Post a Comment