-->

BIBIR-BIBIR YANG TERCECER DI JALANAN

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Mahasiswa Ners STIKES Muhammadiyah Lamongan. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015). Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di berbagai media online. Salah satu Puisinya terpilih dalam antologi Situ, Kota, dan Paradoks (Festival Literasi Tangsel, 2017).

Bibir-bibir yang Tercecer di Jalanan
Oleh: Fatah Anshori

Saat pertama kali tiba di kota ini, aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, ada yang masih segar dan ada yang sudah membusuk atau bahkan mengering. Namun  bibir-bibir  yang  tercecer  di  jalan  raya,  trotoar,  selokan,  atau  di teras toko-toko  itu memiliki aroma wangi yang belum pernah kuhirup sebelumnya. Dan mungkin memang karena bibir-bibir  itu kota ini benar-benar  beraroma wangi. Namun kota ini benar-benar sepi tidak seperti kota kebanyakan. Di sini hanya terdengar angin berhembus yang sesekali menerbangkan bibir-bibir yang mengering dan berserakan di jalan itu. Bibir-bibir itu terbang sebagaimana daun yang tertiup angin.

Ketika pertama kali memasuki gerbang masuk kota, gedung-gedung tinggi tua dan tampak kusam menyambutku. Dan hanya ada satu dua orang berjalan di pedestrian, mereka mengenakan masker dan beberapa ada yang memakai cadar. Aku berjalan berpapasan dengan mereka dan ketika aku menyapa untuk bertanya tempat atau nama kota ini, mereka tidak menjawab, hanya menatapku dengan pandangan yang seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Selalu seperti  itu  polanya,  mereka  hanya  menatapku  kemudian pergi  melewatiku.  Toko-toko  yang berada  di  pinggir  jalan  raya  kebanyakan  menggantungkan  tulisan  tutup  di  balik  pintunya. Satupun toko tidak ada yang buka. Sambil berjalan dan berharap ada orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku, aku mengingat-ingat kejadian sebelum aku memutuskan pergi.

“Kau tak akan menemukan orang yang benar-benar jujur di dunia ini.”

Aku membiarkan Gin berbicara sesukanya di depanku. Sementara sembil menghisap sebatang Marlboro yang kuambil dari kotak rokok milik Gin aku mencoba melupakan kejadian itu.

“Iya aku tahu.” Kataku.

“Jadi, apa sekarang kau akan tetap pergi?”

Aku mengangguk sambil memandangi kendaran yang setiap detik melintas di depan kami. sore itu hujan masih belum reda. aku dan Gin memutuskan untuk berteduh di suatu tenda warung kopi yang sedang tutup. Seorang pengendara motor berhenti dan berteduh di tepi warung kopi, ia mengeluarkan jas hujan dari dalam jok motornya, mengenakannya, kemudian pergi lagi.

Lalu Gin menceritakan ulang kejadian itu, ketika aku seakan-akan menjadi lelaki paling bodoh yang pernah hidup di bumi. Pada suatu sore di hari Sabtu aku dan Gin memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus untuk mengurangi penat dan mencari angin segar, barangkali seperti itu basa-basinya. Ketika berjalan di lobi Fakultas Kesehatan, aku dan Gin melihat mereka berciuman. Ai melakukannya dengan seorang lelaki yang tak kukenal, tapi kuakui lelaki itu memiliki dandanan yang lebih rapi dariku. Ia mungkin memotong rambutnya dua minggu sekali dan merawat kulitnya dengan body lotion setiap hari. Aku dan Gin melihat kejadian itu dengan jelas dan seolah adegan itu di-zoom pada sudut di mana bibir mereka saling bersentuhan satu sama lain. 
“Sudah jangan kau ulang-ulang kejadian itu!” aku sedikit membentaknya.

“Tapi kau sudah melihat sendiri, Ai perempuan yang kau anggap paling suci dan tidak pernah  berbuat  dosa,  telah  melakukannya  di  depan  mata  kepalamu  sendiri.  Jadi  tidak  ada gunanya kau pergi. Dunia ini sebenarnya hanya berisi orang-orang busuk seperti Ai.”

Mulanya Gin adalah seorang lelaki yang baik hati. Namun karena kebaikan hatinya orang- orang  yang  mengenal  Gin  kerap  memanfaatkannya.  Gin  bahkan  rela  meminjamkan  kamar kosnya secara cuma-cuma pada pasangan yang baru jadian meski diantara keduanya Gin tidak kenal.  Lalu  ia  juga  akan  membersihkan  sendiri  tissue-tissue  yang  berserakan  di  kamarnya sehabis  pasangan  baru  yang  bukan  teman  Gin  itu  keluar  dari  kamarnya.  Ia  juga  rela meminjamkan motornya pada temanya untuk berkencan meski ia sendiri sebenarnya membutuhkan motor itu untuk pergi ke kota ke tempat kerja paruh waktu. Ia adalah orang aneh sejenis itu, yang rela dirinya susah untuk kebahagian orang lain.  Namun semuanya berubah ketika Gin akhirnya mendapat perempuan yang bersedia mencintai dirinya apa adanya. Ketika Gin membutuhkan kamar tak ada satupun teman yang bersedia meminjaminya barang hanya se- jam saja. Dan ketika pada suatu sabtu yang cerah ia mendapat nasib sial: ban belakang motor bebeknya kempes. Sementara ia membutuhkan motor untuk mengantar perempuannya ke salon kecantikan,  tak  ada  satupun  teman  yang  bersedia  meminjaminya  motor.  Sebenarnya  masih banyak lagi nasib buruk yang ia alami karena ia terlalu baik pada orang lain, dan puncaknya adalah ketika Gin melihat perempuan yang hanya mencintainya, memeluk lelaki lain di sebuah kursi di kontrakan si perempuan. Mereka berdua tidak mengenakan baju. Si lelaki itu bertanya, apa  pacarmu  tidak  marah  dengan  apa  yang  kita  lakukan  sekarang.  Si  perempuan  hanya menjawab, ia adalah lelaki baik yang tidak pernah marah. Setelah peristiwa itu Gin tidak terlalu peduli dengan orang lain, kecuali hanya satu dua yang sangat ia percaya termasuk aku.

Lalu pada Gin, aku  menceritakan suatu kisah tentang  suatu negeri yang entah pernah kudengar dari mana, aku agak lupa. Mulanya itu adalah suatu negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang  di negeri itu,  karena  mereka kerap  berdusta tidak  pernah  bersyukur,  dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan  negeri  itu  semudah  membolak-balikkan  telapak  tangan,  lalu  negeri  itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang tumbuh di negeri itu tidak lagi bisa dimakan. Seluruh buah yang tumbuh di sana menjadi pahit.

“Lalu apa hubungannya denganku?” tanya Gin  dengan wajah polos yang secara tidak
langsung telah membuatnya tampak seperti orang idiot.

Aku menghisap sebatang Marlboro yang hampir habis lalu meniupkan asapnya ke wajah idiot Gin. Ia terbatuk empat kali. “Tentu saja sudah jelas „kan, karena tuhan telah murka dan menghancurkan negeri itu menjadi ribuan keping, dan ribuan keping itu mungkin adalah pulau- pulau di negeri ini yang lebih dari enam ribu pulaunya belum memiliki nama. Jadi aku akan 
mengunjunginya satu-satu dan siapa tahu aku akan menemukan seseorang yang lebih baik dari
Ai.”

“Dasar bocah aneh!” ujar Gin yang menurutku lebih aneh lagi. Tak ada satupun orang yang rela kamarnya dipinjamkan secara cuma-cuma untuk kesenangan orang lain yang apalagi bukan teman.

Besoknya aku meminta Gin mengantarku ke pelabuhan di sebelah timur kota, aku membeli sebuah tiket perjalan paling murah, aku tidak peduli ke tempat mana kapal itu akan berhenti dan aku tidak terlalu mengingat tempat tujuan perjalanan itu. Aku hanya ingat suara seperti ranting patah ketika petugas tiket itu mengatakan tempat tujuanku. Lalu aku mengikuti arahan tangannya dan menuju kapal yang akan kutumpangi. Saat menaiki tangga ke kapal itu aku melambaikan tangan pada Gin dan mengucapkan selamat  tinggal di dalam hati,  mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan orang sebaik dia. Ia tersenyum dan mungkin mengucapkan semoga berhasil di dalam hati.

Lalu pada suatu pagi, aku tiba-tiba menemukan diriku tertidur di pantai, seorang diri. Koper yang berisi barang-barangku entah kemana. Sepertinya saat sedang tertidur tadi sekelompok orang berbuat tidak baik padaku dan melemparkanku ke laut tidak beserta barang- barang yang kubawa, dan ombak membuatku terdampar di sebuah pulau yang sepi. Mulanya aku mengira pulau ini hanya di isi oleh populasi pohon-pohon besar yang tidak kukenal jenisnya, namun ketika masuk ke dalamnya aku menemukan sebuah kota dengan gedung-gedung tinggi, hampir mirip dengan Jakarta atau Surabaya. Namun dari luar gedung-gedung itu tak nampak sama sekali, seolah-olah pohon yang tumbuh melingkari kota itu seperti koloseum utuh yang menutupi lapangan dari luar. Dan ketika memasuki hutan ada beberapa perkara ganjil yang kurasakan tapi aku tidak bisa memastikan. Pertama aku merasa ketika memasuki hutan tubuhku tiba-tiba mengecil secara berkala menyesuaikan ukuran kota yang berada di tengah-tengah hutan itu, atau yang kedua tubuhku tidak pernah berubah ukuran hanya kota dan hutan-hutan itu yang membesar secara berkala mengikuti skala perbandingan yang mereka tetapkan jika ada orang asing memasuki hutan tersebut, dan yang ketiga mungkin itu hanya perasaanku saja.

Rasanya sudah hampir satu jam aku berjalan menyusuri kota. Tak ada petunjuk apapun tentang kota yang begitu sepi ini, setiap orang yang kutanya tak satupun ada yang menjawab pertanyaanku meski hanya menggeleng atau mengangguk. Tapi tatapan mata mereka seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Lalu di pertigaan jalan tepat di bawah traffic light, seseorang berdiri mematung memandangi garis putus-putus penyeberang jalan. Aku berharap dia bisa memberikan sedikit petunjuk, tentang kota ini dan bibir-bibir yang tercecer di jalanan. Aku berjalan ke arahnya, selama berjalan beberapa kali aku menginjak bibir-bibir yang telah mengering itu. Bibir-bibir itu mengeluarkan suara suara „kres’ sebagaimana daun kering yang terinjak dan aroma harum yang tidak  bisa digambarkan dengan aroma apapun  yang pernah kuhirup sebelumnya, keluar dari bibir yang kuinjak itu.

“Apa kau tahu sesuatu tentang kota atau bibir-bibir itu?”

Lelaki itu lantas membuka maskernya. Tidak ada bibir atau lubang mulut yang tersemat di balik masker itu. Lantas lelaki itu menunjuk ke seberang jalan. Tepat di depan kami sebuah toko 
kecil dengan kata „BUKA‟ tergantung di balik pintu kaca. Aku berjalan ke sana dan masuk ke toko itu. Sebuah toko kecil yang menjual buku. Sebuah lampu neon terpasang di tengah langit- langit toko. Aku berjalan ke rak buku yang berada paling dekat dengan pintu, di situ ada buku- buku yang tidak pernah kutemui di kota di mana aku berasal. Sepertinya buku-buku ini hanya dijual di kota ini dan ditulis oleh orang-orang kota. Mungkin semacam toko buku indie. Ketika aku hendak mengambil sebuah buku untuk membacanya, seorang perempuan muncul dari balik rak buku.

“Ada yang bisa saya bantu?” aku sedikit terkejut sekaligus senang. Sebuah suara di kota ini, aku  spontan menghadap ke sumber suara itu.  Perempuan itu  berdiri di depanku. Boleh dibilang ia adalah perempuan yang menarik menurut versiku. Sedikit mengingatkanku pada Ai. Rambutnya tidak  terlalu  panjang  hanya sebatas bahu,  ia  mengenakan penjepit  rambut.  Dan seperti Ai ia juga mengenakan kaca mata. Gerak tubuh perempuan ini sangat anggun mirip seorang penari. Ia memakai kemeja resmi yang sepertinya adalah seragam pegawai toko buku ini dan sebuah rok panjang berwarna hitam. Tapi yang paling penting ia memiliki bibir dan bisa bicara. Aku lalu menceritakan muasalku sesingkat dan sepadat mungkin paling tidak ia mengerti bagaimana dan karena apa aku bisa sampai di kota ini. lalu aku menanyakan tentang kota dan bibir-bibir itu.

“Baiklah akan kuceritakan semuanya,” perempuan itu  menelan ludah seolah apa yang hendak ia lakukan adalah tindakan beresiko dan mengancam nyawanya. “Aku akan mencoba percaya omong kosong orang-orang yang rela kehilangan bibirnya: kelak akan ada orang asing datang ke kota ini dan menyelamatkan kita dari kutukan Raja.”

Ia menyuruhku mencium bibirnya sebelum ia menceritakan semuanya. Aku sama sekali tidak keberatan, katanya yang berdasar omong kosong orang-orang hanya dengan ciuman orang asing bibirmu tidak akan terkelupas dan berakhir seperti orang-orang yang berkata jujur itu. Lalu seperti permintaannya, aku menciumnya, bibir kami saling bertautan satu sama lain. Aku menikmatinya dan barangkali ia juga sama. Lalu perempuan itu mendorong tubuhku hingga punggungku meyentuh rak buku yang berada di belakangku, beberapa buku terjatuh, tapi kami membiarkannya. Perempuan itu seolah sedang memberikan ciuman terbaiknya, yang barangkali itu adalah ciuman terakhir yang bisa ia berikan. Aku hanya bisa pasrah dan membiarkan perempuan itu  melakukan sepuasnya. Aku  melihat  jam yang  berada di dinding di belakang perempuan itu. Hampir tiga puluh menit kemudian ia baru menarik bibirnya dari bibirku. Terima kasih banyak, katanya. Aku hanya mengangguk, itu bukan masalah kataku. Baru setelah itu, ia mengajakku ke sebuah ruang kecil di belakang meja kasir. Sebuah ruang berukuran dua kali empat meter. Di ruang itu hanya ada sebuah ranjang dan kipas angin yang menempel di dinding menghadap ke ranjang dan satu lagi sebuah jendela kecil berukuran A4 yang menghadap ke langit. Aku duduk di ranjang sementara perempuan itu mengunci pintu ruangan.

“Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya,” setelah 
mengunci pintu kamar perempuan itu lantas duduk di sebelah kananku. “Seperti yang tertulis di buku-buku itu, bahwa setiap orang yang telah kehilangan bibirnya akan segera membusuk begitu saja. Orang-orang yang menulis buku itu percaya bahwa Raja telah membuat perjanjian dengan roh jahat dan membuat kutukan untuk orang-orang yang berbicara benar. Dan konon hanya orang asing yang datang dari luar pulau ini yang tidak terikat darah dan perjanjianlah yang akan mencabut kutukan itu.”

Selagi ia bercerita, aku mendengarkan dengan sekasama seluruh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Di pertengahan cerita ia tiba-tiba melelehkan air mata, dan sepertinya hanya kesedihan yang amat pekat yang dapat membuat perempuan secantik ia, bisa terisak begitu lama. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan, aku hanya mencoba meraih pundaknya dan merangkulnya dengan tangan kananku. Namun tangisnya malah semakin manjadi-jadi. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menenangkan perempuan itu, ketika aku hendak menarik tangan kananku perempuan itu segera menaruh wajahnya di dadaku. Ia seolah ingin membenamkan segala kesedihannya di tubuhku.

“Sebentar lagi aku akan mati.” Perempuan itu masih menangis di dadaku. Aku mencoba membelai punggungnya, meski sedikit canggung. Sambil menunggu tangis perempuan itu reda aku memandangi langit dari satu-satunya jendela di kamar ini.

“Apa kau tidak keberatan menciumku sekali lagi sebelum aku mati?” “Kau tidak akan mati.” Kataku.
“Aku akan mati dan kau juga tidak akan menciumku.” “Aku akan menciummu dan kau tidak akan mati.”
Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor tiga kali. Grendel pintu itu berputar-putar. dan perempuan  itu  tiba-tiba  mendorong tubuhku.  Aku terhempas di ranjang  kecil itu.  Ia segera meletakkan bibirnya di bibirku seperti sebelumnya. Sementara perempuan itu melakukan apa yang ia mau, aku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di luar sana. Pintu itu seolah sedang menghadang bencana besar, suara pintu digedor itu tidak kunjung berhenti. Seolah di luar ada sekawanan banteng yang bergantian menyeruduk pintu. Seperti dugaanku tidak butuh waktu lama, pintu itu hengkang dari tempatnya. Aku melihat ada lima orang menggunakan wearpack yang sama dan membawa senapan. Dan di belakang mereka aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing.

“Mati kau perempuan hina!” seseorang di belakang itu berteriak.

Perempuan itu mengangkat bibirnya sejenak dari bibirku. “Itu adalah Raja kami,” ia tersenyum padaku. Dan salah seorang yang mengenakan wearpack itu mengarahkan senapannya pada perempuan yang sedang berada di atasku. Setelah tubuh perempuan itu terkulai di lantai, dua orang yang mengenakan wearpack itu segera membawanya keluar. Lalu seorang yang di belakang tadi, berjalan kearahku sambil menyeringai.

“Apa sekarang kau sudah mengerti?” bagaiamana mungkin Gin berada disini dan menjadi raja.
—Juni 2018

Fatah Anshori


0 Response to "BIBIR-BIBIR YANG TERCECER DI JALANAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel